Senin, 11 Desember 2017

Hilm atau kelembutan

Ijin share tulisan ustadz Fauzil Adhim

Di antara bentuk hilm atau kelembutan yang berbalut kesabaran adalah menahan diri saat marah, mencegah diri sendiri dari memberikan hukuman kepada anak. Meskipun telah jelas bersalah, ada kalanya kita perlu menahan diri sejenak untuk kebaikan yang lebih besar. Alih-alih menghukum anak, kita memilih untuk berbincang dari hati ke hati dengan anak agar dapat menggali lebih jauh apa yang terjadi pada diri anak.Kapan kita patut menahan diri dari menghukum anak? Ketika sebuah kesalahan berulang terjadi, sementara anak tidak bermaksud untuk mengulang-ulang kesalahan, kita perlu menggali apa yang menyebabkannya tergelincir kembali pada kesalahan yang sama. Kadang orang sangat tidak ingin melakukan sebuah kesalahan, tetapi ia tidak mampu menghadapi dirinya sendiri, hawa nafsunya sendiri, sehingga mengulang kesalahan yang sama. Anak-anak semacam ini perlu kita bantu untuk dapat keluar dari masalah yang dihadapinya.

Kita perlu kelembutan al-hilm (الحلم), dan kita pun memerlukan al-‘anah (الأناة) atau kesanggupan untuk tidak tergesa-gesa mengambil sikap sebelum jelas betul duduk perkaranya. Kita melakukan tabayyun (konfirmasi) dan tatsabbut (memastikan maksud) kepada anak atas apa yang dilakukannya. Tidak cukup hanya tabayyun saja. Tetapi, adakalanya kita tetap harus menahan diri manakala kita mendapati ada hal yang perlu kita gali lebih jauh. Ada hal yang perlu kita luruskan agar lebih kokoh. Bagaimana caranya? Mendengarkan lebih banyak. Mendengarkan dengan lebih baik, sebab mendengarkan merupakan bentuk perhatian.

Hisyam Attalib dan kawan-kawan menulis dalam buku bertajuk Parent-Child Relations: A Guide to Raising Children (IIIT, London, 2013), “Kita sering menganggap orang lain “terlalu banyak bicara”, tetapi pernahkah kita menganggap mereka “terlalu banyak mendengarkan”? Mendengarkan adalah perhatian. Semakin keras kita berbicara, semakin cepat anak menutup telinga.”

Tetapi anak tidak akan bercerita dengan sendirinya jika ia tidak benar-benar merasa nyaman dengan orangtua. Menyuruh anak menceritakan isi hatinya bukanlah cara yang tepat jika anak belum merasa diterima apa adanya. Anak akan lebih mudah terbuka jika kita mengajak anak berbincang ringan untuk membangun suasana nyaman. Kita menahan diri dari menasehati anak bukan karena nasehat itu tidak penting, tetapi karena nasehat yang paling baik pun perlu kesabaran untuk menunggu saat yang tepat menyampaikannya.

Jakarta, 12 Desember 2017 inspirasi pagi#semangat membaca tulisan inspiratif#semoga bermanfaat#tulisan Fauzil Adhim#